google.com
Seusai sholat subuh aku dikejutkan oleh
Bunda “Ari, Nenek kamu masuk
rumah sakit. Bunda harus datang melihatnya.”
Kulihat wajah bunda nampak sedih. Tentu aku
harus mendampingi bunda karena tempat tinggal nenek tidak di Jakarta tapi
Sumatera.
Sementara aku hampir tidak mungkin
meninggalkan kesibukanku di Jakata, Apalagi mitra bisnisku dari luar negeri
sedang ada di jakarta untuk menjajaki kerjasama pembelian produksi pabrikku.
Kulihat Bunda sedang sibuk mengemas
pakaiannya di kamar. “Bunda, apa engga bisa berangkatnya lusa aja?” kataku dengan lembut.
“Bunda engga mau ganggu kamu, bunda bisa
pergi sendiri kok, Antar saja Bunda ke
Bandara ya.“ kata
bunda sambil memasukan pakaiannya kedalam koper,
“Baru minggu lalu bunda ke Dokter dan
sekarang masih harus istirahat” Kataku dengan tetap lembut sambil memegang tas
kopernya untuk mencoba menahannya pergi. “Lusa aja, ya! Aku temanin.“
“Tidak!“ Mata Bunda melotot. Kalau sudah begini aku hanya bisa menghela nafas
panjang, Sepeti biasanya aku harus mengalah untuk mengikuti kata Bunda.
Istriku juga punya sifat sama denganku untuk mengikuti kehendak bunda
"Baiklah, Kita pergi sama sama."
Seperti biasanya pula Bunda tersenyum cerah, dia memelukku. Didalam
pesawat aku menuju kota kelahiran ayahku. Lamunanku
terbang kemasa kanak kanaku. Dalam usia 5 tahun , aku sudah yatim. Karena ayah
meninggal akibat sakit..
Menurut cerita Bunda, ketika Ayah meninggal
status ayah masih mahasiswa di Yogya. Bunda bukanlah dari keluarga
kaya. Bunda juga seorang Yatim, Beda dengan Ayah yang terlahir dari keluarga
Pajabat tinggi di sumatera.
Sehingga walau Ayah berstatus mahasiswa
namun kiriman uang dari orang tuanya masih cukup untuk menanggung hidupnya
berkeluarga. Ayah sengaja merahasiakan perkawinan itu kepada keluarga besarnya.
Namun dua tahun setelah ayah meninggal, bunda datang ke keluarga ayah sambil
membawaku. Aku masih ingat ketika
itu usiaku 7 tahun.
Aku tidak begitu ingat persis bagaimana suasana
ketika bunda memperkenalkan dirinya sebagai menantu dan aku sebagai cucu kepada
kakek dan nenekku. Yang aku tahu setiap
tahun bunda selalu membawaku kerumah Kakek dan nenek. Setiap tahun, setiap
lebaran, bunda mengajaku pergi ke rumah kakek dan nenek. Dengan berlelah lelah naik
bus melewati pulau jawa dan sumatera untuk sampai.
Tak pernah aku antusias datang ke rumah
kekek dan nenek. Sebagai anak kecil aku tahu bahwa kakek nenek tidak pernah
hangat dengan kehadiranku dan Bunda. Beda sekali dengan perlakuannya dengan
saudara sepupuku yang lain, seperti Adi, Rini, Bobi, Anto, Dedi. Setiap
lebaran, kulihat para sepupuku datang dari jakarta, Bandung, Surabaya dengan
pakaian bagus.
Beda sekali denganku. Bila semua istri om
sibuk berdandan dikamar atau bermalasan di taman belakang rumah kakek yang luas
itu, Bunda malah sibuk didapur memasak, seperti pembantu. Ayahku adalah anak tertua diantara empat bersaudara. Semua saudara
ayah laki laki. Tidak ada perempuan.
Istri om semua memang cantik cantik.
Menurut yang kutahu dari Nenek, yang selalu diulang ulang dihadapan bunda,
bahwa semua istri om dari kalangan keluarga terhormat. Seakan merendahkan
keberadaan Bunda. Tapi kulihat bunda tak pernah tersinggung.
Selama membesarkanku, bunda tak pernah
mendapat bantuan satu senpun dari keluarga ayah. Juga bunda tidak pernah
memohon bantuan dari mereka. Bunda bekerja
keras diperusahaan Swasta sebagai tenaga administrasi. Bundapun tak pernah
terpikir untuk menikah kembali. Ketika aku sudah remaja, aku sudah bisa
beralasan bila bunda mengajakku lebaran di rumah Kakek.
“Aku males kerumah kakek dan nenek. Mereka
sayang sama aku.
Kenapa kita harus kerumah mereka?“ Demikian alasanku. Tapi bunda dengan segala
sifatnya yang keras memaksaku untuk ikut. Akupun tak berdaya.
Ketika aku tamat SMU, aku tidak kuliah. Aku
memilih bekerja di bengkel. “Saya tak ada uang untuk mengirim Ari ke
universtas, Yah. “Demikian kata ibu kepada kekek ketika menanyakan mengapa aku
tidak kuliah. Kakek dan nenek nampak tersenyum sinis ketika mengetahui
keadaanku.
Tahun tahun berikutnya ketika lebaran.
Kakek dengan kebanggaannya bercerita tetang sepupuku yang berangkat keluar
negeri untuk kuliah. Ada juga yang masuk perguruan tinggi swasta bergengsi di
Jakarta. Aku maklum karena om ku semua mempunyai posisi sebagai pejabat, dan
ada juga yang jadi pengusaha.
Aku dan bunda hanya diam mendengar cerita
itu. Tapi, tak pernah mengurangi niat bunda untuk datang kerumah kakek dan
nenek. Dan aku semakin bosan dengan sikap keluarga ayahku. Yang pasti
Biiznillah, izin Allah ditambah kerja kerasku, aku bisa menanggung bunda dan
bunda tak perlu lagi berkerja keras.
Berjalannya waktu, yang tadinya aku sebagai
pekerja bengkel, akupun sudah bisa mandiri dengan membuka usaha bengkel
sendiri. Lambat laun, aku mendapat mitra untuk membuat komponen bodi kendaraan
sebagai pemasok pabrikan otomotif. Usaha ini kegeluti dengan kerja keras siang
malam dan akhirnya berkembang. Ini semua tidak bisa dilepaskan peran Bunda yang
tak henti mendoakanku.
Akupun dapat hidup mapan. Namun, kewajiban
setiap lebaran datang berkunjung kerumah kakek nenek tetap saja dilakukan oleh
bunda dan aku harus ikut.
Tapi belakangan keluarga yang berkumpul
dirumah kakek dan nenek tidak lagi utuh. Yang lain hanya menelphone mengucapkan
selamat lebaran kepada kakek dan nenek. Sepupukupun tak semua datang. Mereka
bersikap sama dengan orang tuanya, mengucapkan selamat lebaran via SMS atau
telp. Tapi kakek dan nenek tetap bangga dengan mereka.
Aku tak pernah cerita tentang keadaanku
karena kakek dan nenek tak pernah bertanya tentangku. Walaupun mereka tahu aku
dan bunda tidak lagi datang dengan bus tapi menggunakan pesawat terbang.
Tak terasa roda pesawat sudah menyentuh
landasan. Kulihat bunda tersentak dari tidur lelapnya. Dia melirik kearahku dan
entah kenapa dia menciumku keningku.”Ada apa bunda?” tanyaku dengan tesenyum
“Bunda ingat akan ayahmu.“ Bunda nampak
berlinang air mata. Aku hanya diam “Ayahmu pria yang sangat baik. Sangat baik.
Dia pria yang sholeh. Ayahmu berencana bila dia selesai kuliah dan dapat
pekerjaan maka dia akan membawa bunda dan kamu ke keluarga besarnya.
Bunda tahu kok, Ayahmu dalam posisi lemah
ketika melamar Bunda. Disamping itu dia sadar karena pilihannya kepada bunda
membuat dia berbeda dengan ayahnya.
Ayahmu mencintai bunda karna dia lebih
mencintai Allah dari apapun.”Sambung Bunda.
“Maksud bunda apa?”
“Ayahmu memilih bunda karena agama. Dia
tidak melihat bunda karena kecantikan, karena keturunan orang kaya, karena apa
apa. Dihadapan ayahmu , bunda adalah muslimah yang baik, yang miskin. Dan itu
pasti akan ditentang habis oleh keluarganya.”
Air mata bunda berlinang dan akhirnya airmata
itu jatuh membasahi pipinya.
“Kamu adalah putra ayahmu. Anak yang
berbakti, soleh dan pekerja keras. Benarlah kalau niat baik karena Allah maka yang
akan datang juga kebaikan.“
Aku terdiam. Ada yang mengganjal dalam
pikiranku. Ini momen yang tepat untuk bertanya “Kenapa bunda selalu menaruh hormat kepada kakek dan nenek. Padahal
mereka tidak peduli dengan kita.“
Bunda menatapku dengan tersenyum “Ketika ayahmu pulang ke Sumatera dalam keadaan sakit, dia berpesan
kepada bunda, bila dia meninggal agar bunda menjalin silahturahmi dengan
keluarganya dan mendidikmu untuk dekat kepada kedua orang tuanya.”
Bunda terdiam sebentar sambil mengusap
airmatanya. “kamu tahu, Setelah ayahmu meninggal, butuh dua tahun bunda untuk
mengambil keputusan untuk bertemu dengan kakek dan nenekmu. Walau karena itu tidak ada rasa hormat kepada bunda, dan bunda juga
menyaksikan betapa kamu tidak diperlakukan sama seperti cucu yang lain, tapi
bunda ingat kata kata ayahmu “cintailah sesuatu karena karena Allah. Tak
penting rasa hormat dan imbalan dari manusia, Ya kan, anakku?”
“Ya, bunda.“ Terlontar begitu saja dari
mulutku.
Entah kenapa kedatanganku bersama bunda
kali ini disambut dengan air mata berlinang oleh kakek. Dia peluk aku ketika
sampai di kamar nenek dirawat Yang datang menjenguk hanya aku dan ibu.
Sementara om dan sepupuku tidak ada yang datang. Kulihat nenek dalam keadaan
tertidur.
Dari kakek kutahu bahwa nenek terkena
stroke tapi keadaannya cepat tertolong. Mungkin setelah itu nenek akan lumpuh. Kakek
mengajaku keluar dari ruangan. Kami bicara ditaman Rumah sakit. “Dua tahun
lalu Ommu yang pejabat di Jakarta, terkena kasus korupsi. Dia dalam pemeriksaan
oleh aparat yang berwajib. Sebelumnya
ommu yang di surabaya perusahaannya disita oleh bank karena bankrut. Om kamu
yang di Bandung bercerai dengan istrinya karena soal perselingkuhan dan
akhirnya terkena PHK sebagai PNS.
Semua anak anak mereka tumbuh menjadi anak
yang liar. Kuliah tidak selesai, dan terjebak dalam pergaulan bebas. “Aku terkejut, Karena baru kali ini aku tahu. Mungkin karena
hubunganku dengan keluarga ayahku tidak begitu dekat maka tak banyak kutahu
soal mereka. “Kakek tahu bahwa nenekmu punya penyakit darah tinggi dan jantung.
Makanya kakek berusaha menyimpan rapat
rahasia tentang Om kamu yang tersangkut kasus korupsi. Tapi kemarin, ada yang memberi tahu bahwa om kamu
sudah di vonis penjara enam tahun atas tindakan korupsinya. Seketika itupula
nenekmu jatuh pingsan.”
Aku hanya diam untuk menjadi pendengar yang
baik. “Ari, kami tahu bahwa selama ini perlakuan kami kepada kamu dan ibu mu
kurang baik. Bahkan kami biarkan ibumu menderita membesarkan kamu, membesarkan
anak dari putra sulung kami, cucu kami. Kami menyesal karena
sikap kami selama ini. Belakangan ini, nenekmu selalu menyebut nama kamu. Setiap dia
menyebut namamu, seketika itu juga dia menangis.
Kini dimasa tua kami, kami resah karena tak
tahu siapa yang akan mengurus kami. Nenekmu mungkin
setelah ini akan lumpuh. Kakek sudah uzur dan lemah.”
Ku genggam tangan kakek. “Aku yang akan
merawat kakek dan nenek. Izinkan aku untuk membawa kakek dan nenek ke jakarta,
tinggal bersamaku. Beri kesempatanku untuk berbakti kepada kakek dan nenek, ya
kek. “
Seketika itu juga kakek memeluku erat. Terasa
pundakku dingin, Aku tahu kakek menangis. "Harta yang ada
juallah kek. Untuk bantu om dan adik adiknya. Dalam situasi ini tentu
mereka sangat membutuhkannya. Dan sisanya kakek sedekahkan untuk panti asuhan
agar kakek punya bekal akhirat, ya kan kek." kataku.
Kakek semakin erat pelukannya. "Maha
suci Allah, sifatmu tak jauh beda dengan Ayahmu, yang begitu bijak menyikapi
kami "
Bertahun tahun aku didiik oleh bunda untuk
memahami makna cinta. Bahwa cinta adalah
tindakan memberi karena Allah, bukan mengharap balasan dari manusia. Akupun harus
memahami hakikat cinta dalam kehidupan ini, termasuk menggantikan posisi ayahku
untuk berbakti kepada kakek dan nenek, Orangtua ayahku.
Bunda nampak bahagia sekali ketika
melihatku mendorong korsi roda nenek menuju tangga pesawat dengan disamping
kakek yang berjalan sambilh memegang lenganku. Kami semua ke Jakarta. Ya Allah,
semoga kami meninggal dalam sebagai insan yang Engkau cintai.
Bagikan artikel ini bila bermanfaat. "Barangsiapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka dia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya" (HR. Muslim)
Sign up here with your email
Jika ada kesalahan silahkan berkomentar. Terima kasih telah saling mengingatkan dalam kebaikan dengan memberikan kritik dan saran. ConversionConversion EmoticonEmoticon